Jumat, 09 Desember 2011

catur vs Computer

"BELAJAR CATUR DENGAN KOMPUTER, AKAN...
LEBIH CEPET PINTER! " (Suara Hati)

Kini, pecatur modern –dengan bantuan komputer canggih untuk berlatih, dapat mengakses data pertandingan ratusan tahun lalu dan bermain catur secara online tanpa batas— dapat menyabet gelar grand master lebih muda ketimbang pecatur sebelumnya.
Ketika Magnus meraih gelar Grand master pada usia 13 tahun, dua pecatur belia lainnya, Sergey Karjakin dari Ukraina dan Parimarjan Negi dari India, menyabet gelar serupa dalam usia lebih muda.  Sementara, 17 tahun lalu, lusinan pecatur memerlukan waktu 40 tahun untuk mematahkan rekor Bobby Fischer, juara dunia dari Amerika Serikat. Fischer meraih gelar Grand Master pada usia 15 tahun.
Tapi Magnus istimewa karena bisa bertahan di jajaran pecatur elit dunia hingga sekarang. Gaya permainan dan pengorbanannya memang tak biasa. Sejak bermain catur pada usia 8 tahun, Magnus  menyukai taktik posisioning yang kompleks. Situasi permainan ini membuatnya nyaman.
Sedangkan bagi lawannya, meski dia seorang pecatur terbaik sekali pun, sering kali harus menyerah karena kelelahan dan putus asa. Magnus memang memiliki mental pecatur yang tangguh.
Selama bermain, Magnus mengaku sering kehilangan konsentrasi. Tetapi kemudian ia akan mengheningkan cipta sambil berkata pada dirinya sendiri: “Kau tidak mau kalah dalam permainan ini sebagai idiot kan? Maka, keluarkan semua kemampuanmu sekarang.”
Kebanyakan pecatur merasa kecewa saat kalah. Kekecewaan ini bisa panjang, sehingga perasaan itu terbawa dalam permainan berikutnya. Sementara, bagi Magnus, kekalahan  dalam catur tak membuatnya larut dalam kekecewaan panjang.
“Saya lebih kecewa jika kalah dalam permainan di luar catur,” ujarnya.
“Saya selalu kecewa jika kalah dalam permainan Monopoli,” katanya.
Itulah perasaan yang dialami Magnus saat saudara-saudara perempuannya mengalahkan dia dalam permainan Monopoli.
Situasi persaingan memang terasa kental di rumahnya, bahkan sudah mirip sebuah etos. Ayahnya, Henrik, adalah seorang konsultan teknologi  informasi yang menghabiskan waktunya bersama anak-anaknya saat tak bekerja. Ibunya, Sigrun Carlsen, seorang Insinyur Kimia. Keduanya sama-sama aktif bekerja, tetapi sekaligus membumi.
Magnus memiliki tiga saudara perempuan: Ellen (19), Ingrid (14) dan Signe (11). Ingrid berkata saudara laki-lakinya sering mencekik, mengusik, sehingga kelakuan kakak laki-lakinya itu tak ubahnya seperti iblis.
“Apa yang diharapkan dari saudara laki-laki jika tak mencekik,” kata Magnus polos.
Kisah tentang bocah ajaib memang kerap diawali dari sebuah eureka, sebuah penemuan, ketika anak itu menunjukkan bakat tersembunyinya dalam sebuah permainan. Minat Magnus dapat terlacak sejak kompetisinya dengan kakaknya, Ellen.
Ayah kandungnya, seorang pecatur bagus untuk tingkat turnamen, mencoba mengajar Magnus dan Ellen bermain catur lebih serius. Inilah awal Magnus mulai bermain catur. Meski motif awal Magnus adalah mengalahkan kakak perempuannya.
Suatu hari, saat Magnus berumur 8 tahun, ia menantang Ellen bermain catur, dan menang.
“Yang menyedihkan dari peristiwa itu,” kenang ayahnya, “kakaknya memilih berhenti bermain catur. Padahal permainan ini sudah ia pelajari selama empat tahun.”
Sementara, permainan bocah lelaki itu justru makin berkembang pesat. Ia mulai secara reguler ikut di sejumlah turnamen catur, dan kemajuan permainannya sungguh menakjubkan. Setahun setelah mengikuti turnamen pertamanya melawan pecatur seusianya, ia mulai ikut turnamen catur orang dewasa dan berhasil mengalahkan mereka.
Selama beberapa saat ia sempat belajar dengan Simen Agdestein, seorang grand master dan bekas juara catur Norwegia. Tapi, sekarang, Magnus sudah jauh melampaui kemampuan gurunya.  (IHT/SM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar